Makalah Ilmu Arud Wal-Qawafi
Selasa, 09 April 2019
Add Comment
MAKALAH ILMU ARUDL WAL-QAWAFY
PENDAHULUAN
Sastra merupakan salah satu keindahan dari dari berbagai
keindahan kehidupan manusia dan proses penciptaan yang ditemukan manusia dalam
bahasa mereka yang beragam, dan terjadi dalam khayalan-khayalan yang
mengagumkan, yang menghasilkan karya-karya sastra, cara pemahaman dan
pengucapan, emosi-emosi yang halus, dan keinginan manusia yang menyatu antara
satu dan yang lain.[1]
Sesuai pembahasan, sastra adalah
sebuah ide yang menjadi acuan sebuah seni atau bahan dan bentuk yang diletakkan
di dalamnya, dan kedua unsur ini serupa di setiap sastra yang dihasilkan. Maka
unsur bahan dan bentuk dalam sastra adalah dua unsur yang mendirikannya,
keduanya seperti tubuh dan ruh pada manusia.[2]
Oleh karena itu, sastra adalah apa yang membekas pada kita dengan karakter
seni, perasaan yang indah, dan emosi-emosi halus secara bersamaan. Karakter
seni meliputi atas bentukan seni atau acuan seni atau bentuk tampak dari
sastra, baik drama ataupun peperangan. Perasaan yang indah terdapat dalam diri
seorang sastrawan atau penya’ir, dan emosi-emosi halus merupakan dasar dari
pembuatan sebuah karya sastra, dan apabila sastra kehilangan sentuhan lembutnya
maka kita tidak menamakannya sebagai sastra lagi. Untuk itu, jika menemukan
perkataan yang tertata seperti Alfiah Ibn Malik, ini tidak termasuk
kedalam sastra karena di dalamnya tidak terdapat sentuhan halus itu.
Tentunya sebuah karya sastra
terdapat dalam bentuk yang bermacam-macam, baik dalam tarian, kisah, ataupun
percakapan. Di samping itu dulunya sastra dimaknai konotasi yang mencakup atas
makna-makna yang banyak. Dan bahasa sastra berkaitan dengan sikap,
kejadian-kejadian, kenangan-kenangan, perumpamaan-perumpamaan dan juga mencakup
atas suara yang keras, pelan, pembuatan sastra,
alat, dan barang-barang dalam hidup. Dan bahasa digunakan sebagai alat
yang dasar dalam kesastraan yang berkaitan dengan simbol berserta maknanya yang dalam, bahkan ungkapan seni
yang memiliki bentuk zat pada dasar kesastraannya dan sadar akan makna-makna
kemanusiaan yang menyerupainya. Dan dengan inilah seni berkembang, ia manusia
yang kaya akan kemanusiaannya, kemudian menyerupai pencapaian makna kemanusiaan
baginya sebagai suatu yang darurat dari semua kedaruratan atau sebagai suatu
kebutuhan dari semua kebutuhan.
Maka kebutuhan dasar manusia tak
tercukupi dengan banyaknya harta, dan sumber daya alam yang telah disediakan,
bahkan dibutuhkan didalamnya alat penghubung untuk mencapai tujuan yang
bermanfaat di hidupnya, dan sebagiannya dengan bahasa dan sastra, keduanya
sumber dasar dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat dan keilmuan. Dan
kesastraan contohnya memiliki kosa kata yang tersebar yang tergabung di
dalamnya kadar yang tinggi dan bahasanya melekat bukan hanya makna sumbernya
saja melainkan di dalamnya makna konotasi yang beragam yang tidak dipakai dalam
bahasa ilmiah. Dan dengan bahasa kesastraan ini jadilah pembuatan sastra.
Dan apabila membahas tentang
pembuatan sastra dari segi jenisnya, terdapat di dalamnya pembuatan sastra
prosa dan syi’ir. Maka syi’ir meliputi atas peperangan, drama, kisah dengan
bahasa hewan, berdiri di tempat yang tinggi, dan syi’ir peperangan telah
berkembang pada fajar kemanusiaan, dan merupakan syi’ir yang menceritakan
kejadian-kejadian perang, kepahlawanan, dan para pahlawan yang bersahaja dan
sedikit dari kepercayaan akal dan seni, begitu pula perbuatan-perbuatan yang
luar biasa dan kejadian-kejadian yang jarang terjadi. Dan unsur-unsurnya ialah
menggambarkan melalui percakapan, mendeskripsikan kepribadiaanya, dan pidato.
Dan dulu syi’ir adalah pembuatan
sastra yang besar di dunia sejak manusia kanak-kanak. Dan di antara nash-nash
yang masih terjaga adalah syi’ir peperangan pada kesastraan Yunani kuno: Ilias
dan Odysee untuk penyair Homerus 880 SM, di kesastraan Latin Al-Inyadah untuk
penyair Farjil, dan peperangan Al-Komedya Al-Ilahiyah Ladante 133 M, dan Al-Firdaus
Al-Mafqud untuk penyair Miltun 1674 M, kemudian dirapikan Muhammad Iqbal
risalah al-khulud atau jawednamah sekitar seribu bait dalam bahrur raml
dengan aturan al-mutsnawa, dan Mahabiharatsa untuk penyair Hindi. Dan seribu
penyair Persia, Firdaus dari penyair-penyair zaman Al-Ghoznawi Asy-Syahanamah
dengan 60 ribu bait. Dan terdapat dalam kesastraan ‘Arab, Asy-Sya’bi,
peperangan Asy-Sya’bi antara Az-Zair As-Salim dan Abi Zaid Al-Hilaly dan
tekenal dengan kekeringan dan anak perempuan yang mempunyai keinginan yang
tinggi dan lainnya. Ini semua gagal pada zaman yang baru, beberapa penyair
mencoba dengan bahasa-bahasa yang berbeda dalam menuliskan peperangan. Dan
manusia masih membaca dan takjub dengan peperangan-peperangan lama yang disebutkan.
Seni sastra mengenai peperangan pindah setelah zaman lama dari seni ke sastra
Asy-Sya’bi dan berakhir setelah berkembangnya kemanusiaan, dan bertambah banyak
alat hiburan seperti radio, televisi, internet, komputer dan sebagainya. Dan
mereka menghasilkan pembuatan sastra dengan perkembangan dan budaya yang
beragam di negara yang berbeda.
Pelu diketahui bahwasanya Bahasa
‘Arab telah berkembang di negara-negara ‘Arab yang lebih dahulu menghasilkan
pembuatan sastra baru dan asli di setiap ilmu-ilmu alamiah seperti kedokteran,
astronomi, kimia, aljabar, geometri dan sebagainya, begitu pula di ilmu
filsafat, sejarah, sikap dan sastra.
Ini setelah bersatunya ‘Arab dengan
Islam baik agama dan budaya seluruhnya bersumber dari perkembangan islam.
Mereka menjadikan Islam sebagai syri’at dan pedoman yang tertulis dalam Al-qur
an dan dasar dalam pembuatan-pembuatan sastra mereka. Maka Al-qur an adalah
perkataan Allah ‘azza wa jalla yang merupakan gambaran tercapainya seni-seni
Islam berangsur-angsur secara bahasa bagi mereka. Orang ‘Arab melihat bahwasanya
hakikat keindahan Al-qur an dari sastra dan bahasa meliputi atas
pendeskripsiannya, makna-maknanya, dan isinya. Dan Al-qur an bukan syi’ir atau
prosa, tetapi Al-qur an adalah yang mulia, petunjuk bagi manusia, dan penjernih
apa yang dalam dada. Dan ini sastra secara mutlak (sastra Al-qur an) atau prosa
yang menyentuh (prosa mutlak). Tidak menggunakan kaidah syi’ir maupun prosa
akan tetapi lebih besar keinginan mendapat syahadat yang indah, tinggi, yang
tak terhitung kecuali olehNya. Dan syi’ir berkaitan dengan kaidah-kaidah
tertentu, kata yang memiliki pola dan berakhiran sama, di dalamnya terdapat
khayalan yang menakjubkan, pemikiran, kelembutan, dan makna-makna yang berbeda
yang keluar dari otak penyair.
Pembuatan sastra yang baru tumbuh
dan berkembang hasil-hasil baru dengan banyaknya sumber-sumber dan
rujukan-rujukan baru dari Al-qur an, Hadits, dan perkembangan yang diambil dari
perkembangan yang berbeda di dunia (Yunani, Latin, Persia, Hindi, Asia dan
sebagainya). Maka Al-qur an dan perkataannya yang nyata mendorong kesastraan
yang tinggi, memiliki tema yang banyak seperti mendorong untuk beramal sholeh,
nasihat yang bermanfaat, pelajaran yang baik, zuhud, pujian kepada Allah,
RosulNya, para sahabatnya, para mujahidin di jalan Allah, dan penengah bagi
Islam dari yang mendzoliminya. Dan kehidupan sastra berubah sangat cepat berdasarkan
perubahan hidup kebanyakan, maka tumbuhlah permintaan kebutuhan pada manusia
dan terjadilah perkelahian antara mereka dan antara kelompok masyarakat. Inilah
yang menyibukkan mereka dari mengerjakan pembuatan sastra keseluruhan dan
menghasilkan sastra yang bagus, yang layak di hadapan manusia sepanjang waktu.
Dan kebiasaan orang ‘Arab itu benar, tidak salah dalam bahasanya dan tersebar
berangsur-angsur dalam perkataan mereka seperti yang kita tahu itu jelas dalam
prosa dan syi’ir mereka.
[2] Sholahuddin An-nadawiy, Mukhtaraat minal
adab almuqorin (Penelitian di Universitas Syarif Hidayatullah Al-Islamiyyah
Al-Mukarromah, Jakarta: 1998),h.2
0 Response to "Makalah Ilmu Arud Wal-Qawafi"
Posting Komentar