Sastra Bandingan
Senin, 08 April 2019
Add Comment
SASTRA BANDINGAN
1.
Pengarang : Hafizh
bin ‘Ajab Ali Hafizh al-Duwasri
Judul : ضياع
دار (Terbit 1418 H)
Bagian : ضياع
دار (Bagian peperangan), halaman 26-53
2.
Pengarang : Aan Merdeka Permana
Judul : Perang Bubat: di Balik
Kisah Cinta Gajah Mada dan Dyah Pitaloka
(Terbit 2009)
Bagian : 8 (halaman
232-263)
Sinopsis Novel ضياع دار
Novel ضياع دار menceritakan tentang Abdurrahman yang
kehilangan rumahnya disebabkan oleh peperangan dan pengkhianatan temannya. Abdurrahman
memiliki rumah mewah yang berada di atas puncak bukit tertinggi di kota
Madinah. Rumah itu dibangun oleh ayahnya. Ayahnya
kemudian ikut berjihad, dan gugur di medan perang. Maka Abdurrahman
bertanggungjawab untuk menjaga ibu dan adiknya. Abdurrahman berniat untuk
melamar Asma, adik dari sahabatnya, Shaleh. Lamaran Abdurrahman diterima,
kemudian dilangsungkan akad pernikahan, sedangkan resepsi pernikahan
dilaksanakan dua bulan kemudian. Lima hari sebelum resepsi, Shaleh datang
kepada Abdurrahman untuk melamar Aisyah, adik Abdurrahman. Lamaran Shaleh pun diterima. Mereka berencana untuk melangsungkan resepsi pernikahan bersama.
Namun sebelum resepsi dilaksanakan, terjadi sesuatu yang tidak diduga.
Tiba-tiba saja terdapat seruan untuk berjihad memerangi musuh.
Dalam peperangan tersebut muncullah
pengkhianatan dari Sayaf. Sayaf adalah teman Shaleh yang sebelumnya pernah melamar
Asma tetapi lamaran tersebut ditolak. Saat ia tahu bahwa lamaran Abdurrahmanlah
yang diterima, Sayaf merasa benci terhadap Shaleh, terlebih lagi saat ia tidak
mendapatkan posisi sebagai pemimpin pasukan, ia semakin merasa benci dan dendam
kepada Shaleh.
Abdurrahman memiliki kelemahan dari segi
pandangan. Pandangannya kabur. Maka Abdurrahman tidak ikut berjihad. Ia tetap
di rumah, menjaga ibunya yang sedang sakit, menjaga isterinya, dan adiknya. Sayaf
berkhianat kepada Shaleh dengan menjalin hubungan dengan pihak musuh. Sayaf memberitahukan tentang taktik perang kepada musuh. Itulah
yang membuat musuh bisa mengalahkan pasukan yang melindungi kota. Sayaf dan para prajuritnya yang
berkhianat kemudian bertekad untuk menyerang rumah Abdurahman secara tiba-tiba
karena Sayaf telah mempengaruhi prajuritnya dengan mengatakan bahwa ada
seseorang yang ketika yang lain berperang, justru bersantai-santai di rumah
yang mewah.
Sayaf dan prajuritnya akhirnya berhasil
memasuki rumah Abdurrahman. Saat itu Abdurrahman sedang berada di kamarnya,
tidur karena demam dan sakit mata. Prajurit Sayaf kemudian merangsek masuk dan
mengikat Abdurrahman di salah satu tiang rumahnya. Asma, Aisyah dan ibu
Abdurrahman lalu digiring ke tempatnya. Di hadapan Abdurrahman, Sayaf mengatakan
kepada prajuritnya untuk membuka aurat ketiga wanita itu. Abdurrahman yang
lemah berusaha untuk melawan, namun siksaan yang ia dapatkan. Ia pun semakin
lemah, lalu pingsan. Namun Sayaf dan prajuritnya membuang Abdurrahman ke hutan.
(Di hutan, Abdurrahman ditemukan oleh seorang pembantu dari nenek tua. Abdurrahman
kemudian dirawat oleh nenek tua itu). Ibunda Abdurrahman lalu mengambil yang
pisau yang ada di dekatnya, lalu bunuh diri. Sayaf lalu memerintahkan
prajurtinya untuk membawa Asma ke kamar untuk digauli oleh Sayaf, dan menyuruh
mereka membawa Aisyah pergi dan mengizinkan mereka memperlakukannya sesuai
dengan keinginan mereka.
Aisyah kemudian dipukul sangat keras oleh prajurit itu karena menolak.
Akhirnya wanita itu mati. Sedangkan Asma, digauli oleh Sayaf dengan paksa.
Setelah kejadian itu, Asma tidak mau makan dan minum. Saat Asma ke kamar mandi,
dia melompat keluar jendela yang mengarah ke
jurang yang sangat dalam. Dia jatuh dari atas gunung dan mati.
Unsur Intrinsik Novel ضياع دار
Sebuah karya
fiksi tidak terlepas dari unsur-unsur instrinsik, yaitu berupa tema, tokoh, sudut
pandang, alur dan amanat. Dalam novel ضياع دارkarya Hafizh bin ‘Ajab Ali Hafizh al-Duwasri tidak
terdapat sub-sub judul seperti novel-novel lainnya. Novel ini menggunakan tema non-tradisional, karena pada akhirnya
bukan kebaikan yang mengalahkan kejahatan, tetapi kejahatan yang mengalahkan
kebaikan. Sedangkan dalam kategori tingkatan tema menurut Shipley, tema dalam
novel ini termasuk ke dalam tema tingkat ketiga, yaitu tema sosial, karena di dalam novel ini berhubungan dengan
masyarakat dan cinta kasih. Adapun tema utama dalam novel ini adalah
pengkhianatan.
Adapun tokoh yang terdapat dalam bagian yang dipilih oleh peneliti, yaitu
Aku (Abdurrahman), Aisyah (adik Abdurrahman), Sajidah (Ibunda Abdurrahman),
Shaleh, Asma, Mujahid, Sayaf, prajurit dan tukang roti. Penjelasan mengenai
bagian tokoh tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tokoh Utama
|
Abdurrahman
|
Tokoh Tambahan
|
Aisyah, Sajidah, Shaleh, Asma, Mujahid,
Sayaf, prajurit dan tukang roti
|
Tokoh Antagonis
|
Sayaf dan prajuritnya
|
Tokoh Protagonis
|
Abdurrahman, Aisyah, Sajidah, Shaleh, Asma,
Mujahid, prajurit Sayaf dan tukang roti
|
Tokoh Sederhana
|
Aisyah, Sajidah, Shaleh, Mujahid, prajurit
Sayaf dan tukang roti
|
Tokoh Bulat
|
Abdurrahman, Asma dan Sayaf
|
Tokoh Statis
|
Aisyah, Sajidah, Shaleh, Mujahid, prajurit
Sayaf dan tukang roti
|
Tokoh Dinamis
|
Abdurrahman, Asma dan Sayaf
|
Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama serba tahu dalam novel
ini, sebab pengarang menggunakan tokoh “Dia” sebagai tokoh utama.
Dalam novel ini, pengarang menggunakan alur maju-mundur. Pada awalnya
pengarang menceritakan tokoh si “Aku” di masa kini, lalu tokoh “Aku”
menceritakan tentang kisah masa lalunya kepada seorang nenek tua yang
merawatnya. Ini adalah alur mundur karena
merupakan kejadian yang telah lampau. Setelah selesai bercerita, tokoh “Aku”
kembali ke keadaannya di masa kini. Ini adalah alur maju.
… Abdurahman lalu mulai bercerita dengan air mata yang terus
mengalir deras bagaikan air terjun yang tiada henti. “Bu, dulu rumahku terletak
di atas puncak bukit tertinggi yang ada di kota Madinah tempat kita tinggal
ini. … (Alur mundur)
… Inilah kisah hidupku, Bu. Itulah musibah yang telah menimpa
diriku. Apakah kau pernah mengalami yang lebih besar daripada ini?? … (Alur
Maju)
Sinopsis Novel Perang Bubat: di Balik Kisah Cinta Gajah Mada dan
Dyah Pitaloka
Novel Perang
Bubat: di Balik Kisah Cinta Gajah Mada dan Dyah Pitaloka menceritakan
tentang Gajah Mada yang sejak lama telah mencintai Putri Sunda, yaitu Dyah
Pitaloka. Sebenarnya Dyah Pitaloka pun mencintai Gajah Mada, tetapi karena
status sosial di antara mereka berbeda, maka keduanya memendam perasaan
masing-masing. Gajah Mada yang pada awalnya adalah pekerja di Kerajaan Sunda,
akhirnya diusir oleh Maharaja Linggabuana tetapi dengan pengusiran yang baik.
Pengusiran ini dilakukan karena sang Raja tahu bahwa Gajah Mada tertarik kepada
puterinya. Gajah Mada kemudian menjadi pekerja di Kerajaan Majapahit. Berkat
kecerdasannya, Gajah Mada akhirnya diangkat menjadi patih, menggeserkan posisi
Patih Janggawolu dan Patih Purwodi. Ini membuat Patih Janggawolu dan Patih
Purwodi merasa sakit hati.
Gajah Mada
sangat terkenal di Kerajaan Majapahit, bahkan melebihi Hayam Wuruk. Dapat
dilihat, gelar Gajah dan Hayam tentunya sangat berbeda jauh. Terkenalnya Gajah
Mada, selain karena kehebatannya dalam berargumen dan memberikan solusi suatu
masalah, adalah karena Sumpah Palapa yang diucapkannya, yang tidak akan memakan
buah palapa, kecuali telah membuat seluruh kerajaan yang ada di Nusantara
tunduk kepada Majapahit.
Raja Majapahit,
yaitu Hayam Wuruk merasa memerlukan seorang pendamping. Ia lalu melihat sebuah
lukisan Dyah Pitaloka di kamar Gajah Mada, dan saat itu pula Hayam Wuruk merasa
tertarik pada Dyah Pitaloka dan langsung menginginkannya menjadi isterinya.
Hayam Wuruk kemudian memerintahkan kepada Gajah Mada dan beberapa prajurit agar
menyampaikan sebuah pesan yang ditulis dalam lontar kepada Raja Sunda.
Gajah Mada
beserta prajuritnya pun segera datang ke Kerajaan Sunda. Di sana, saat Gajah
Mada bertemu kembali dengan Dyah Pitaloka, ia dapat merasakan bahwa cintanya
untuk sang Puteri masih ada di dalam hatinya. Namun Gajah Mada tetap
melaksanakan perintah rajanya untuk memberikan lontar yang berisi surat
pinangan kepada Raja Sunda.
Raja Sunda
merasa suatu kehormatan Raja Majapahit ingin memperisteri puterinya. Pinangan
tersebut pun diterima. Setelah mendapatkan balasan pesan dari Raja Sunda yang
isinya dapat mudah ditebak oleh Gajah Mada, Gajah Mada pun kembali ke
Majapahit.
Namun yang
menjadi permasalahan adalah Raja Majapahit ingin agar dalam pernikahan, pihak
kerajaan Sunda yang datang ke Majapahit, dengan alasan itu adalah budaya
Majapahit. Hal ini bertentangan dengan adat Sunda, di mana pihak perempuanlah
yang didatangi oleh pihak laki-laki. Hal ini sempat menjadi masalah di kerajaan
Sunda, namun Raja Sunda merasa ini adalah untuk terjalinnya saling menghargai
antar adat. Akhirnya, rombongan Sunda tetap datang ke Majapahit dengan
menggunakan kapal.
Ketika sampai
di daratan, tidak ada pihak Majapahit yang datang menjemput. Maka, beberapa
orang pihak Sunda bermaksud untuk mendatangi lebih dulu pihak Majapahit dengan
membawa seserahan, barangkali akan bertemu di jalan. Dyah Pitaloka dan beberapa
orang lainnya menunggu di kapal. Raja, Ratu beserta para prajurit pergi.
Benar dugaan
mereka, bahwa di jalan, mereka bertemu dengan Patih Purwodi dan Patih
Janggawolu. Kedua patih yang datang menjemput kemudian mengajak agar
beristirahat dulu di Bubat. Seserahan yang dibawa dari Sunda ditempatkan di
sebuah tempat yang biasa digunakan untuk upeti. Pihak Sunda tidak terima,
karena menurut mereka seserahan bukanlah upeti. Namun pihak Majapahit
bersikeras agar seserahan itu diletakkan di sana karena memang seperti itu
biasanya. Pihak Sunda tersinggung, kemudian terjadilah perkelahian di antara
mereka. Karena pihak Sunda lebih banyak, kedua patih itupun pergi. Tak lama
kemudian, datang rombongan pasukan yang siap bertempur.
Pihak Sunda
tidak tahu bahwa pasukan itu memang telah disiapkan untuk memerangi mereka. Ini
memang telah direncanakan oleh Patih Purwodi dan Janggawolu. Mereka berkhianat,
dengan menggunakan Sumpah Palapa sebagai alasan memerangi Sunda, padahal tujuan
mereka adalah agar Gajah Mada tersingkir dari istana, sebagaimana mereka
tersingkir dari posisi mereka dulu.
Saat akan
bertarung, terdengar seruan, “Demi Sumpah Palapa!”. Pihak Sunda mengira ini
semua adalah rencana jahat Gajah Mada yang ingin menjadikan Sunda tunduk di
bawah Majapahit. Maka pertempuran terjadi. Pihak Sunda kalah karena mereka sama
sekali tidak memiliki persiapan untuk bertempur.
Ketika
pertempuran terjadi, orang-orang yang ada di kerajaan Sunda sama sekali tidak
tahu, termasuk Gajah Mada. Mereka justru khawatir karena rombongan Sunda tidak
juga datang. Akhirnya diperintahkan kepada Sakunti dan Kurowi (pengikut setia
Gajah Mada) untuk menyusul Patih Purwodi dan Janggawolu ke Bubat. Sakunti dan
Kurowi terkejut melihat di lapangan Bubat sudah banyak darah dan mayat. Mereka
bertemu dengan Patih Purwodi dan Janggawolu, namun dua patih itu menjawab, ini
disebabkan pihak Sunda yang tidak mau menyimpan seserahan di tempat upeti.
Setelah
Sakunti, Kurowi, Patih Purwodi, Patib Janggawolu dan prajuritnya kembali ke
istana, mereka segera mendatangi Raja Hayam Wuruk. Mereka mengatakan hal yang
sama, yaitu pihak Sunda tidak mau menyimpan seserahan di tempat upeti.
Pernikahan pun gagal. Adapun alasan yang digunakan untuk menjelaskan hal yang
terjadi kepada pihak Sunda yang masih ada di daerah Sunda adalah itu semua demi
Sumpah Palapa. Akhirnya Gajah Mada yang menjadi korban. Dia diusir dari istana.
Di luar pun dia dicemooh oleh banyak orang. Sedangkan tentang rombongan Dyah
Pitaloka yang menunggu di kapal, semua tewas karena pasukan Patih Purwodi
sampai memerangi semua yang ada di kapal, kecuali Dyah Pitaloka, dalam novel
ini dikisahkan tiba-tiba saja hilang dan tidak pernah ditemukan.
Unsur Intrinsik Novel Perang Bubat
Tokoh dalam novel Perang Bubat BAB 8 adalah Maharaja
Linggabuana (Ayahanda Putri Dyah Pitaloka, Raja Sunda), Putri Dyah Pitaloka
Citraresmi, Dewi Sriman Taji (Isteri Maharaja Linggabuana), Mangkubumi
Bunisora, Wastukancana, Rakean Rangga, Tumenggung Larang Ageung, Patih Supit
Kelingking, Rakean Nakoda Braja, Rakean Nakoda Bule, Pendeta Kalihan Jati,
Patih Wirayuda, Patih Seberang Keling, menteri, patih, prajurit Sunda Sakunti,
Kurowi, Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Sedangkan tokoh antagonis adalah Patih
Janggawolu, Patih Rangkek Durga, Patih Purwodi dan Ki Panghulu Sura.
Tokoh Utama
|
Gajah
Mada
|
Tokoh Tambahan
|
Maharaja Linggabuana (Ayahanda Putri Dyah
Pitaloka, Raja Sunda), Putri Dyah Pitaloka Citraresmi, Dewi Sriman Taji
(Isteri Maharaja Linggabuana), Mangkubumi Bunisora, Wastukancana, Rakean
Rangga, Tumenggung Larang Ageung, Patih Supit Kelingking, Rakean Nakoda
Braja, Rakean Nakoda Bule, Pendeta Kalihan Jati, Patih Wirayuda, Patih
Seberang Keling, menteri, patih, prajurit Sunda Sakunti, Kurowi, Hayam Wuruk,
Patih Janggawolu, Patih Rangkek Durga, Patih Purwodi dan Ki Panghulu Sura
|
Tokoh Antagonis
|
Patih Janggawolu, Patih Rangkek Durga, Patih
Purwodi dan Ki Panghulu Sura
|
Tokoh Protagonis
|
Maharaja Linggabuana (Ayahanda Putri Dyah
Pitaloka, Raja Sunda), Putri Dyah Pitaloka Citraresmi, Dewi Sriman Taji
(Isteri Maharaja Linggabuana), Mangkubumi Bunisora, Wastukancana, Rakean
Rangga, Tumenggung Larang Ageung, Patih Supit Kelingking, Rakean Nakoda
Braja, Rakean Nakoda Bule, Pendeta Kalihan Jati, Patih Wirayuda, Patih
Seberang Keling, menteri, patih, prajurit Sunda Sakunti, Kurowi, Hayam Wuruk
|
Tokoh Sederhana
|
Maharaja Linggabuana (Ayahanda Putri Dyah
Pitaloka, Raja Sunda), Putri Dyah Pitaloka Citraresmi, Dewi Sriman Taji
(Isteri Maharaja Linggabuana), Mangkubumi Bunisora, Wastukancana, Rakean
Rangga, Tumenggung Larang Ageung, Patih Supit Kelingking, Rakean Nakoda
Braja, Rakean Nakoda Bule, Pendeta Kalihan Jati, Patih Wirayuda, Patih
Seberang Keling, menteri, patih, prajurit Sunda Sakunti, Kurowi, Patih
Rangkek Durga dan Ki Panghulu Sura
|
Tokoh Bulat
|
Gajah
Mada, Hayam Wuruk, Patih Janggawolu dan Patih Purwodi
|
Tokoh Statis
|
Putri Dyah Pitaloka Citraresmi, Dewi Sriman
Taji (Isteri Maharaja Linggabuana), Mangkubumi Bunisora, Wastukancana, Rakean
Nakoda Braja, Rakean Nakoda Bule, Pendeta Kalihan Jati, Patih Wirayuda,
Sakunti, Kurowi, Patih Rangkek Durga dan Ki Panghulu Sura
|
Tokoh Dinamis
|
Maharaja Linggabuana (Ayahanda Putri Dyah
Pitaloka, Raja Sunda), Rakean Rangga, Tumenggung Larang Ageung, Patih Supit
Kelingking, Patih Seberang Keling, Patih Janggawolu dan Patih Purwodi
|
Dalam novel ini pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga karena
menyebutkan nama tokoh. Adapun alur
yang digunakan dalam novel ini adalah alur searah, karena peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam novel ini diceritakan secara berurutan.
Metode
Novel ضياع دار terbit
pada tahun 1418 H, sedangkan novel Perang Bubat terbit pada tahun 2009, maka
peneliti menggunakan metode diakronis, karena dua novel tersebut dipandang
berbeda zaman dalam pembuatannya.
Analisis
1.
Afinitas
Kedua novel tersebut sama-sama menceritakan pengkhianatan yang
terjadi dalam peperangan. Hanya saja dalam novel ضياع
دار pengkhianatan murni disebabkan
oleh cinta, dan jabatan sebagai alasan yang memperkuat pengkhianatan. Sedangkan
dalam novel Perang Bubat murni disebabkan karena disingkirkan dari
jabatan.
2.
Penetrasi
Peneliti berpendapat bahwa dalam pembuatan
kedua novel ini tidak ada unsur saling mempengaruhi. Karena novel ضياع دار terbit pada tahun 1418 H, sedangkan novel Perang
Bubat terbit pada tahun 2009.
3.
Popularitas
Novel ضياع دار adalah novel yang diterbitkan di Kharaj,
sedangkan novel Perang Bubat diterbitkan di Indonesia. Maka peneliti
berpendapat, kedua novel ini terkenal di daerahnya masing-masing. Khusus untuk novel
Perang Bubat, karena Perang Bubat menceritakan tentang Kerajaan Sunda dan
Majapahit yang ada di Jawa, maka diperkirakan novel ini akan lebih terkenal di
daerah tataran Sunda dan Jawa.
4.
Reputasi
Sebagaimana yang terdapat dalam buku Burhan Nurgiyantoro,
Teori Pengkajian Fiksi, bahwa sebuah novel merupakan totalitas, suatu
kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Maka sebagai sebuah totalitas, novel
tidak terlepas dari unsur-unsur pembangunnya. Peneliti berpendapat bahwa kedua
novel ini dapat dikatakan bermutu, karena unsur-unsur intrinsik yang harus ada
dalam sebuah novel, terdapat dalam kedua novel ini.
5.
Aliran
Tema umum dari dua novel ini adalah pengkhianatan, dan keduanya
membahas tentang cinta. Maka peneliti berpendapat bahwa kedua novel ini termasuk ke dalam
aliran romantisme, karena aliran romantisme bertujuan agar pembaca tersentuh
dan terbuai emosinya.
0 Response to "Sastra Bandingan"
Posting Komentar