Terjemah Mabadi Al-Lisaniyyat
Selasa, 09 April 2019
Add Comment
Terjemah Mabadi Al-Lisaniyyat
BAB IV
PELAJARAN
NAHWU
1. Pendahuluan
Saya tahu
orang-orang zaman dahulu menjadikan nahwu sebagai cara ketika mereka akan
mengklasifikasikan tata bahasa (grammaire), memisahkan sighot yang sohih atau
yang tidak. Maka dari itu mereka menemukan pelajaran-pelajaran harakat (syakal)
dari pelajaran nahwu yang mana lebih mementingkan harakat, menimbang serta menentukan
mana yang salah dan mana yang benar dan menyesuaikan pembahasan kebahasaan
tertentu apakah termasuk bahasa yang ini ataukah bahasa yang itu. berdasarkan
penelitian yang lebih cenderung kepada pembelajaran yang mengatur pelajaran
itu, ternyata para ahli ilmu nahwu mereka mempunyai tempat yang istimewa di
kalangan masyarakat. Dan menjadikan hal ini untuk memperoleh ilmu pengetahuan
dan pengajaran tentang metode standar yang sulit terutama dalam pemakaian tata
bahasa, dan mencari ilmu mantiq (ilmu logika) untuk memperkuat pertimbangan
dengan memberi batasan terhadap kutipan dari orang awam.
Berdasarkan
pengamatan untuk menandai tentang klasifikasi ilmu nahwu (tradisional)
ditetapkan dengan tanda/sebutan terhadap pelajaran nahwu sehingga munculah ilmu
bahasa kontemporer (moderen) dengan metode deskriptif yang lebih cenderung
dengan pembelajaran kebahasaan umum terhadap cara/metode yang baru dari metode
ilmu pengetahuan. Dan disini terbagi atas dua bagian yaitu: salahsatunya
dinamakan (nahwu standar), dan satu lagi dinamakan nahwu deskriptif. Tidak
diragukan atas munculnya nahwu deskriptif tidak menghilangkan nahwu standar
yang telah ditetapkan berlaku di tengah pendidikan masyarakat. Terkadang
rumitnya masalah tentang kebenaran suatu kenyataan dan terpelesetnya omongan
dan cara (katakanlah atau jangan katakan), dan mengikuti gaya bahasa kuno
berdasarkan contoh dari para penyair dan mengadopsi dewan bahasa yang merupakan
benteng bahasa tradisional untuk sebagian yang baru, mengurangi dalam
pembahasan seputar pendidikan, kebudayaan, dan sosial. Maka nahwu standar
berdiri dengan dasar deskriptif setara dengan bahasa: (bahasa kebudayaan,
bahasa kebangsaan, dialek….), dan diantara tingkatan ini maka ditentukan
salahsatu dari itu dan dijadikan bahasa
utama yang wajib diikuti dan diadopsi. Dan bahasa ini harus fasih pada
bahasanya dan juga pada penggunaannya. Atas keputusan ini jelaslah bahwa nahwu
tidak ada campur tangan dengan faktor kebahasaan sorof, akan tetapi faktor
sosial dan kebudayaan, bergantung pada pemerintahan yang mewajibkan bahasa itu
berada ditengah masyarakat, dan tradisi menulis yang sangat baik, dan mengikuti
warisan budaya yang ada sebelumnya.
Adapun (nahwu
deskriptif) telah dibatasi pada gambaran ilmu pengetahuan yang netral, bukan
mencari mana yang benar atau mana yang salah. Dan menimbang terhadap bentuk
tata bahasa yang baru, melihat bentuk yang mempunyai tujuan yang sama diantara
situasi yang sama dijelaskan dan diklasifikasikan berdasarkan penelitian yang
luas untuk banyak contoh dan metode yang berlaku. Dan oleh karena ilmu bahasa
menjelaskan dengan nyata serta deskriptif dan tidak menerima yang melampaui
standar sesuai dengan batasan standar nahwu yang lebih mementingkan ilmu
pengetahuan dengan tata bahasa atau susunan (syntaxe) dan jalan masuk ke bahasa
di perguruan tinggi yang bersekutu dengan bahasa kemanusiaan. Dan disini
diperlihatkan lebih mementingkan pada pelajaran ilmu bahasa ketika berbarengan
dengan bahasa tradisional, atas dasar yang jelas baru cenderung pada kurikulum
untuk pembelajaran dari apa yang kita lakukan tanpa menghilangkan pelajaran
tradisional dan melanggar ruang lingkupnya yang terus-menerus dilakukan. Dan
oleh karenanya tidak dimasukan dua cara ini atau dua kurikulum ini jauh dari
dua pelajaran kontemporer untuk lebih mengutamakan istilah (tarkib/):
(syntaxe/susunan kata) daripada istilah (nahwu): (grammaire/tata bahasa),
ketika memulai dengan pelajaran ilmu bahasa yang kita ketahui baru-baru ini.
Sebagaimana kita ketahui dari karakteristik-karakteristik
ini, maka bisa kita simpulkan bahwa penggunaan istilah/kajian (pelajaran nahwu)
tidak ada salahnya sebagai petunjuk dalam kajian bab ini.
Merupakan sebuah urgensi yang menunjukkan bahwasannya
metode linguistik kontemporer tidak hanya terbatas pada pembahasan stuktur
kalimat dan perkembangannya saja ketika
terjadinya hubungan/ penggabungan bentuk sebagaimna yang merupakan kajian
pembahasan darsul mi’yari, hal itu menunjukkan perlunya pembahasan tentang
makna yang diungkapkan dalam struktur
tersebut. Begitu juga yang ditunjukkan dalam tujuan ini, bahwasannya metode
kontemporer tidak ditetapkan oleh batasan-batasan yang signifikan antar satu
aspek dengan aspek-aspek materi kebahasaan atau semacamnya, dalam hal ini
sesuatu yang diketahui dari batasan antara ilmu shorf dan nahwu, nahwu dan
balaghah, dan sebagainya.
Sesungguhnya,
masalah-masalah yang dikemukaka pembahasan linguistik meliputi berbagai aspek
dan bercabang-cabang. Karenanya, buku ini tidak mungkin mengumpulkan keseluruhannya tetapi menjauhi
untuk mengkaji serta mmemperolehnya secara terperinci dan dengan gambaran luas
saja. Apabila kita mempelajari suatu permasalahan dari berbagai masalah yang
dipersempit suatu buku itu, maka bagaimana jika maksud/ tujuannya yaitu untuk
mengumpulkan berbagai permasalahan dalam konteks ini sebagaimana yang
dimaksud?, oleh karena itu haruslah diringkas pandangan umum yang menyerupai
dasar-dasar yang disepakati/diakui yang disatukan dalam pembahasan-pembahasan
penerjemah maupun penulis linguistik.
2. Macam-Macam
Kalimat
Kalimat menurut ahli Nahwu merupakan ungkapan
yang menunjukkan hubungan penggabungan (isnadi) antara dua kata benda (isim),
atau antara kata benda (isim) dan kata
kerja (fi’il). Adapun isnad merupakan penggabungan atau perhubungan antara satu
kalimat dengan kalimat lain. Sedangkan an-nisbah ditafsirkan sebagai terjadinya
penggantungan antara dua perkara.
Apabila diperhatikan, ahli
Nahwu tidak mengharuskan setiap kalimat(jumlah) menunjukkan makna Oleh karena itu, sebuah kalimat tetap
memiliki susunan penggabungan (isnadi) baik yang mempunyai makna sempurna atau
pun tidak, dan pada waktu yang sama juga keduanya membentuk suatu ujaran
(al-kalam) yang merupakan ungkapan langsung yang sempurna, tepatnya yang
menunjukkan makna yang mendaangkan jawaban bagus. Maka, yang dinamakan kalimat
(jumlah) itu lebih umum dari pada ujaran apabila mesti diperlukan perbandingan.
Adapun contoh yang termasuk kedalam ujaran yang belum sempurna seperti: jumlah
syarat, jawab syarat, shilah dan lain-lain.
Telah jelas seperti
penerangan yang ditetapkan ahli Nahwu sebagaimana yang dikemukakan Mazin
Al-Mubarok bahwa kalimat yang sempurna dinamakan ujaran, namun terkadang ada
juga kalimat yang tidak sempurna yang hanya sebatas hubungan penyandaran antara
dua kata. Antara dua kata saling
bersandaran dengan yang lainnya, apabila sempurna makna keduanya serta
mnimbulkan jawaban bagus, maka keduanya termasuk kalimat ujaran, sedangkan
apabila belum sempurna maka hanya sebatas kalimat.
Kalimat dalam bahasa arab
fusha dibagi menjadi dua bagian:
Kalimat nominal (jumlah ismiah) berisikan
informasi yang ditunjukkan dengan penetapan musnad dan musnad ileh, dengan
tanpa adanya tanda untuk pembaharuan atau lanjutan. Apabila khobarnya kata benda (isim) maka
mengandung arti tetap atau kekal dengan adanya pembanding, dan apabila
khobarnya fi’il mudhori’ (kalimat verbal dengan kata kerja dengan pola masa
sekarang) karenanya terkadang menunjukkan makna lanjutan dan bisa pembaharuan
jika belum ditemukan penyebab yang menjadikannya bermakna tetap. Oleh karena
itu, tidak setiap kalimat nominal itu menunjukkan makna tetap. Maka dalam
kalimat زيد قائم)) menunjukkan
makna baru bukan tetap.
Hal 273-274 (Mia Nihayatunnisa , Anbar Sujatnika)
Kalimat aktif (jumlah fi’liyah) ada untuk
menjelaskan keterkaitan isnadi (pertalian) serta tentang indikasi waktu yang
menunjukan peristiwa lampau, sekarang, dan akan depan. Selanjutnya merujuk pada pembaruan terdahulu atau saat ini (dalam
madhi’ dan hal) sebagaimana tertera dalam kelanjutan selain pembaruan (tajdid).
Tetapi tata kalimat dalam Bahasa Arab Fusha biasa dikaji dengan
salah satu dari dua jalan.salah satunya sebagai mana susunan berikut : mubtada
( musnad ilaih ) + khabar (musnad) + yang berhubungan dengan Dharaf dalam
jumlah ismiyah = jumlah ismiyah. Dan yang keduanya adalah seperti dalam contoh
berikut :
Fiil (musnad) + Fa’il dan segala yang merujuk padanya (musnad
ilaih) + maf’ul bih langsung + maf’ul dharaf = jumlah fi’liyyah.
Sebagaimana telah diketahui bahwasanya bahasa Arab Fusha bergantung
pada hubungan I’rab dalam menjelaskan fungsi kata dalam kalimat. Oleh sebab itu
tidak tergantung pada tata letak kalimat sebagaimana yang terjadi dalam
bahasa-basaha India dan Eropa.
Sebagaimana telah dijealskan pada paraghraf sebelumnya bahwasanya
susunan murni dalam tatanan kalimat arab
sedikit, sementara susunan tidak murni banyak. Hal ini mendatangkan banyak
kemungkinan seputar rangkaian bahasa. Terutama
penulis, sastrawan untuk
tindakan-tindakan mereka dalam mengekspresikan seni lebih luas.
Maka perlu lah dicatat beberapa hal yang berkaitan dengan jumlah
ismiyah dari masalah-masalah. Kalimat ini diawali dengan keunikan yang
menunjukan keterkaitan antara jalan
isnadi bukan kata kerja (fiil). Seperti teks
yang tebebas dari makna
waktu. Salah satu Syarat kalimat ini adalah tersusun atas dua kata benda
(isim): musnad ilaih (isim), musnad (khabar=isim )
Dan untuk membedakan mubtada dalam kalimat fiiliyah dan ismiyah,
jika kata benda didepandan tidak ada musnad ilaih seperti dalam conth (عليا أكرم محمد ) dan
(اليوم عادالمسافر ) tetap jumlah fiiliyah meskipun dalam kalimat
tersebut terdapat isim (kata benda).
Karena isim/ kata benda ini termasuk isim tafdil bukan dari bagian
isnadi. Hal ini menjelaskan bahwasanya alas an perubahan-perubahan bentuk
membantu menjelaskan hubungan isnadi (kata yang saling bersandar) dan menentukan jenis kalimat.
Hal ini tidak berarti bahwa (mubtada) dalam jumlah ismiyah harus
ditempatkan didepan dalam membentuk kalimat, tetapi justru (khabar) wajib dan
dianjurkan untuk didahulukan jika khabar nya isim kata lain seperti masdar
muawwal. Adapun jika khabar jumlah fiiliyah maka mubtada wajib didepankan
karena pada mubtada disepakati dalam
menentukan jenis kalimat. Contohnya seperti ( زيد جاء
) ).
Para ahli Nahwu terdahulu berbeda pendapat dalam
menentukan kalimat yang khabar nya terdiri dari jumlah filiyah, sebagaimana
dalam contoh زيد
جاء ) ). Adapun ahli nahwu
Basrah yang mensyaratkan fail (pelaku) harus diakhirkan dari fiil (kata
kerja)nya. Maka mereka menjadikan jumlah
ismiyah, dan kedudukan زيد menjadi mubtada. Sedangkan para ahli nahwu Kuffah yang
berpendapat bahwa fail (pelaku) adalah orang yang menyertai fiil sama saja
didahulukan dari fiil nyua atau diakhirkan. Mereka pun menjadikan jumlah
fiiliyah, dimana زيد menjadi fail yang
didahulukan dari fiil جاء . dan dapat disimpulkan bahwa madhab kuffah
tidak cukup dipercaya oleh ahli nahwu selanjutnya yang secara umum berpedoman pada kaidah-kaidah mazhab
basrah.
Tidaklah mudah menyampaikan kalimat
زيد جاء ) ) dengan kalimat ( زيد جاء ) bersandar pada زيد menurut pendapat ahli nahwu Kuffah,
زيد adalah fail (pelaku) yang mutlak.
Sedangkan زيد جاء) ) jika dimaksudkan untuk memberitahukan
bahwa زيدا adalah yang akan dating bukan yang lain, dan
maksud ini bukan sepinya kabar. Ketika kita berkata جاء
زيد ) ) maka kabar tersebut akan berubah dengan kabar kedatangan zaid,
jumlah disini merupakan jumlah fi’liyah bukan didalamnya ada tambahan dalam
Dan dilihat sesungguhnya kalimat isim murni dari awal susunan bahasa. Selain dari bahsa yang tinggi dan
terjaga atas kalimat ini Pada saat terbengkalai semua bahsa. Maka kalimat ismiyyah yang banyak dipakai
didalam bahsa yang tinggi semuanya tidak membutuhkan fiil antara juz’ pada
kalimat ini.
Juga masaalhnya tidak
dikhususkan sedikit dipakai keadaan wujud. Bahkan mengaitkan dengan macam yang dahulu yang bersambung dari
jumlah yang adhhard dipakai pada masa global
Adapun jumlah ismiyyah yang murni (maksudnya yang terbebas dari
fi’il) hamper tidak ada pada bahsa india, iran da barat . sungguh membantu fiil
pada bahsa ini antara kalimat yang satu dengan klaimaty yang lain yang memiliki
jumlah ismiyah yang sangat tinggi…selain dari fi’il ini yang memberitahukan kalimat shahih yang isnad.
Pada bahasa prancis dan inggris misalkan tidak wajib membantu fi’il
yang ber eter dan bertoobe antara dua isim yang berupa sybaih jumlah ismiyyah
itu diterjemahkan dari bahsa arab dengan menggunakan jumlah ismiyyah contoh le
crayon est rouge (pulpen merah) . adapun terjemah harfiyyah seperti pulpen (est
) merah jika dilihat dari bahsa inggris hamper sama dengan bahsa inggris
seperti: the pen is red dan terjemah tersebut tidak terulang pada sebelumya.
Dan difaris juga terdapat fi’il antara susunan jumlah yang terdiri
dari rukun jumlah ismiyyah dan tidak terbatas. Dari contoh trsebut seperti:
ambillah enam dari itu dua sucian pada enam kebersihan Allah maha adil, dua
sucian kalimat terdahulu. Diatara tashrif yang mungkin menggunakan dhamir. Yang
terdapat pada contoh fi’il (etre) diprancis dan fi’il toobe (inggris) dan jumlah yang lain pada bahsa yang
berbeda-beda dari sisim dan fi’il yang
berdasar.
Catatan! Bahwa bahasa arab membutuhkan bantuan untuk menghubungkan isnad
dengan dlomir dzohir atau dlomir muqodar. Ulama kufah telah menyampaikan bahwa
khobar jamid membawa dlomir yang kembali kepada mubtada, dan jikalau tidak ada pada makna musytaq, seperti
: (هذا حجر)dengan itu keadaan dlomir
yang mungkin menjadi khobar yang jamid dan yang musytaq, karena dlomir itu
harus ada hubungan yang menghubungkan mubtada dengan khobar. Sebagaimana bahasa
arab menjadi penguat terhadap keberadaan isnad dengan beberapa komplemen
seperti fa, ba, sebagai contoh : .(كل امرئ قله
رزق) ,( الذي يتفوق فله جائزة) ,(ما أنت بالرجل الذي تخشى بوارده)
Catatan! Bahwa kebutuhan terhadap petunjuk waktu itu membutuhkan
penggunaan kata kerja (كان) atau (يكون) atau (سيكون)
contoh : (أبن سينا كان طبيبا), (الشجر
سيكون مثمرا) ,(الجو يكون لطيفا فى الربيع) dsb.
Tetapi sebagain peneliti kontemporer arab dan barat mengamati keadaan ini, atau
keadaan mubtada muhawwal keduanya tanda atas tiada kebebasan jumlah ismiyah,
tetapi sebuah penafian wujud aslinya. Dan mereka telah bekerja keras atas
perbedaan metode-metode mereka terhadap penambahan jumlah ismiyah dengan jumlah
fi’liyah takdirnya fi’il (الكون) sebelum mubtada atau
setelahnya. dan contohnya untuk pendapat pertama yaitu :
.(يكون محمد رسول الله) kedua : محمد يكون
هو) (رسول اللهdan jumlah asalnya
yaitu (محمد رسول الله)
.Dan bukan suatu kebutuhan kita menyusun susunan yang sulit ini dari
interpretasi untuk mujarrod mengalihkan bahasa arab ke bahasa lain yang
memiliki karakter dan metode penyusunan yang berbeda.
Cirri-ciri asalnya atas kejadian yang berkaitan dengan waktu dan
musnad kepada fa’il atau apa saja yang mendukungnya.
Bergstrasser memandang bahwa jumlah ismiyyah murni (kalimat
nomina) termasuk struktur bahasa paling lama. Namun bahasa-bahasa Semit tetap
menjaga jenis kalimat ini saat semua bahasa lain meninggalkannya. Jumlah
ismiyyah sangat sering digunakan dalam bahasa-bahasa Semit, tanpa
memerlukan adanya penghubung antara kedua bagian jenis kalimat ini.
Dengan demikian, yang menjadi persoalan bukanlah tipe yang jarang digunakan
atau kebetulan ada. Namun berkaitan dengan kalimat-kalimat jenis lama
yang telah mengakar dan penggunaannya tetap berlaku sepanjang zaman.
Jumlah ismiyyah
murni (yaitu
kalimat yang sama sekali tidak memiliki kata kerja) hampir tidak ditemukan
dalam bahasa India, Iran dan bahasa-bahasa Barat. Bahasa-bahasa ini menggunakan
kata kerja penghubung antara kedua bagian kalimat yang mirip dengan jumlah
ismiyyah yang ada dalam bahasa Semit. Tanpa adanya kata kerja penghubung
ini, kalimat yang benar mustahil dibentuk.
Dalam bahasa Arab kalimat tersebut
diistilahkan sebagai jumlah ismiyyah. Misalnya kalimat Le Crayon est
rouge, yang berarti pulpen biru. Namun terjemah literalnya adalah
sebagai berikut: pulpen [terjadi = est] biru. Padanan
bahasa Inggris untuk contoh berbahasa Perancis ini adalah: The pen is red.
Terjemah kalimat tersebut tidak berbeda dengan contoh sebelumnya.
Dalam bahasa Persia juga kata kerja penghubung
menghubungkan kedua bagian kalimat yang terdiri atas dua kata benda. Kata kerja
penghubung tersebut sama sekali tidak dapat ditanggalkan. Di antara contohnya
adalah: خُدا عادل است
(Allah Mahaadil) dan طهران بايتخت ايران است (Teheran adalah ibu kota Iran).
Kata kerja penghubung است
dapat diubah disesuaikan dengan kata ganti, sama seperti etre dalam
bahasa Perancis dan to be dalam bahasa Inggris.
Kalimat lain dalam bahasa-bahasa ini
terdiri atas satu kata benda dan kata kerja pokok, atau satu kata benda dan dua
kata kerja yang salah satunya menjadi kata kerja bantu sebagai penunjuk waktu.
Kalimat ini harus diawali dengan kata benda (isim), kata ganti (dhamîr),
kata sambung (isim maushûl) atau kata benda mabni lainnya.
Bahasa-bahasa ini juga berbeda dalam
penyusunan bagian-bagian kalimat. Bahasa Perancis, Inggris dan Jerman
meletakkan kata kerja pada urutan kedua setelah kata benda. Semua bahasa ini
juga berbeda dalam ada atau tidaknya konsep mendahulukan-mengakhirkan. Di
antara bahasa yang memiliki aturan posisi kata dalam kalimat adalah bahasa
Perancis. Berbeda dengan bahasa Perancis, bahasa Jerman adalah salah satu
bahasa yang tidak memiliki kaidah baku dalam mengatur urutan kata. Ini karena
dalam bahasa Jerman banyak terjadi penyimpangan. Dalam bahasa Persia, kata
kerja (baik kata kerja pokok maupun kata kerja bantu) menempati urutan terakhir
dalam kalimat. Sedangkan pelengkap kalimat dalam bahasa ini diletakkan di
antara kata benda dan kata kerja. Misalnya أبو علي سينا يكِ فيلسوف بُود yang artinya Abu
Ali bin Sina adalah seorang filsuf dan مَن امروز بدانشكَاه رفتم yang artinya Aku hari ini
telah pergi ke universitas.
Harus disinggung pula bahwa kata benda yang
mengawali kalimat dalam semua bahasa ini adalah subjek. Tidak ada konsep apapun
tentang apa yang kita sebut dengan jumlah ismiyyah muhawwalah, yaitu
kalimat yang diawali dengan kata benda dan kalimat yang diawali
dengan kata kerja sebagai jumlah ismiyyah kubrâ dan jumlah fi’liyyah
shughrâ.
Demikianlah, jelas sekali bahwa bahasa-bahasa modern
Barat memiliki tiga bentuk kalimat, yaitu:
1.
Kata benda + kata kerja bantu + kata
benda/kata sifat. Pola seperti ini dalam bahasa kita diistilahkan sebagai jumlah
ismiyyah tanpa kata kerja.
2.
Kata
benda + kata kerja pokok + objek langsung atau tak langsung. Pola seperti ini
kita kenal dengan Jumlah Ismiyah Kubro.
3.
Kata
benda + kata kerja bantu + kata kerja pokok + objek langsung atau tak langsung.
Yang ketiga ini seperti yang diatas jika
didalamnya tidak menunjukkan zaman secara tersusun didalamnya.
Adapun
bahasa Perancis itu memiliki dua bentuk kalimat, yaitu;
1.
Kata
benda + kata benda atau kata sifat
+ kata kerja penghubung (kata kerja yang
terhubung dengan huruf A,S dan T serta segala bentuk perubahannya)
2.
Kata
benda + kalimat pelengkap + kata kerja pokok[1].
Serupa dengan Jumlah ismiyah Kubro.
Setiap kalimat/jumlah itu memiliki
bentuk-bentuk pokok (forme) yang mayoritas setiap bahasa memilikinya,
bentuk tersebut ialah ; kalimat pernyataan (affirmative), kalimat negative,
kalimat tanya (interrogative), kalimat syarat (conditionnel),
serta kalimat pengandaian (menunjuk suatu tuntutan)/ subjonctif.
Adapun jumlah dipandang dari segi
tanda-tanda perubahannya itu ada dua pola[2]: pertama,
pola I’robiy (inflektif) yang bergantung pada tanda-tanda verbal
untuk menunjukkan fungsi kata dalam kalimat dari segi sandaran atau isnad-nya.
Pola ini memungkinkan bebasnya gerak di setiap unsur-unsur kalimat. Seperti
halnya dalam bahasa Arab Fushoha, terkecuali jika didalamnya tersembunyi
tanda-tanda lafdziah, maka disandarkan pada susunan kaidah untuk menjelaskan
posisi isnad-nya. Seperti contoh :
"ضرب موسى عيسى" . Kata موسى ialah subjek (fa’il)
yang bersandar pada kedudukan yang tetap, namun tidak akan terjaga jika selamat
dari ketidakjelasan (tidak samar). Tapi, jika samar maka harus memeperhatikanya
seperti contoh tadi.
Pola yang kedua ialah pola
tahlily yakni pola yang tidak bergantung pada tanda-tanda verbal dan
petunjuk-petunjuk lafdziah, tetapi pola ini hanya untuk mengatur kalimat dengan
susunan yang membatasi kedudukan kata-kata dari segi isnad-nya. Serta
kedudukan kata tersebut menunjukkan pada fungsinya. Dan tidak boleh adanya
perubahan kalimat disini baik diawal maupun diakhir, dan jika hal itu terjadi –
maka sebagian kaidah yang telah ditetapkan itu kembali pada kalimat tanya – dan
menjadi kalimat yang salah. Pola tahlily ialah pola yang umum dipakai dalam
bahasa Eropa modern.
Kalimat itu memiliki dua
shifat pokok[3]
: salah satu diantaranya ialah sifat tawaziy (Parataxe) merupakan sifat
bagi jumlah yang sederhana yang tidak memakai kata penghubung. Maka terbentuklah
kesejajaran dan kesederhanaan. Tidak rumit, tumpang tindih, tidak saling
mendahului atau mengakhiri.
Sifat yang kedua ialah
sifat Taroobuth (Hypotaxe), ialah sifat bagi kalimat yang cukup rumit
yang didalamnya memiliki berbagai unsur dan huruf-huruf yang berpengaruh
seperti huruf-huruf syarat, istitsna, hashr, taukid serta tasybih. Ditambah
lagi dengan kepanjangannya dan saling tumpang tindihnya unsur-unsur makna, dan
tersebarluasnya taqdim, ta’khir, I’tirodl dsb. Sebagian para pengkaji memandang
bahwa sifat ini banyak digunakan dalam ungkapan yang tinggi sebagaimana dalam
ungkapan pemikiran, filsafat, agama, ilmu sastra ketika peradaban ini maju dan
kematangan berfikir.
3.
Arti tata bahasa:
Studi kontemporer menunjukkan bahwa makna linguistik
merupakan peristiwa linguistik yang kompleks, tidak mudah untuk dipelajari dan
dianalisis secara sekaligus, tetapi dia
harus membelah dan
terlihat pada tahap. Perlu diingat dalam hal ini, bahwasannya linguistik
kontemporer pertama pada tahun 1960 M menyebar luaskan analisis makna
linguistik untuk unsur-unsur utama di satu sisi, perlunya kebutuhan atas (tempat)
untuk mendeteksi kondisi perkataan dan situasi dari keadaan lain.
Hal ini juga menyebutkan bahwa salah satu ulama kita yang
hidup dimasa kontemporer yaitu Tammam Hassan, ia cenderung pada tata bahasa
yang terdapat dalam studi makna yang dikenal dalam bukunya (Makna Linguistik
Arab dan strukturnya). Ia telah menyimpulkan bahwa kalam membagi
bagian-bagiannya mulai dari konstruksi bunyi (Morfologi), tata bahasa
(susunan), dan Samar. Sesudah itu cenderung pada (tempat) untuk menghasilkan
(makna semantik). Tammam Hassan merasa bahwa makna dari bagian-bagian kalam
tersebut terbagi dalam beberapa bagian:
1. Alsirat
: Bermakna fungsional, karena makna alsirat dibanding dengan substitusi tidak
memiliki makna sendiri. (Hal ini dimungkinkan cenderung pada makna semantik
yang diperoleh melalui penggunaan yang membuat bunyi kata-kata tertentu
khususnya fitur harus dipertimbangkan ketika menangani analisis linguistik).
2.
Morfologi: Bermakna fungsional juga,
karena struktur morfologi menunjukkan makna morfologi melalui fungsinya, yaitu
bentuk-bentuk dan tanda-tanda.
3.
Sintaksis: Bermakna fungsional juga,
karena pada dasarnya hubungan isbat pada struktur kedudukan
morfologi, hubungan konteksnya di sesuaikan dengan makna kata leksikal tidak
didahulukan kecuali bentuk dari korelasi struktur kedudukan makna dalam bunyi
dan bentuk.
4.
Kamus: adalah yang mendahulukan/
mengedepankan makna sosial yang biasa disempurnakan bagiannya dan
memberhentikan bentuk makna bahasa.
Dan akan jelas perbedaan antara makna suara, bentuk dan sintaksis dari
seginya, makna kamus dari segi lain ketika yang diciptakan seseorang- seperti
pada kata kerja sempurna yang baik- pola
هرائياpada bentuk kata dan keindahan bahasa arab
selain penggunaan pada penelitian/penggunaan suara bhasa arab dan struktur bentuk
arab dan bentuk/macam-macam keindahan nya juga tidak memungkinkan untuk
mendahulukan ungkapan bahasa arab tidak
ada yang menopang makna sosial contohnya sepertibahasan yang diciptakan yang
telah dikatakan ketika mengatakan nadzom:
Pada nadzom arudhi tidak mungkin dapat disebut perkataan atau puisi dalam
keadaan apapun, karena seperti kita jelaskan pada makna kamus, dan ketika
ada/didapati terus-menerus pada nadzom-nadzom arab itu suara, bentuk dan sintaksis.
5.
Tempat adalah
kumpulan hubungan kondisi dan keadaan yang tercakup pada perkataan.
Begitupula ini menjelaskan kepada kita semua bahwa makna yang telah di
bicarakan ini semuanya adalah yang menyerupai makna semantik pada bahasa percakapan.
Dan dari penjelasan bahwa makna ini menghubungkan sebagian dari makna tersebut
dengan bagian-bagian hubungan/penghubung
yang dekat, dan tidak boleh dipisahkan antara salahsatunya dan yang lainnya kecuali bhasa-bahasa pelajaran
analitical pada makna semantik yang
menarik seseorang dari bahasa percakapan menyerupai tidak ada gabungan الكيماوي yang terurai
pada unsur/elemen kelipatan untuk diberikan.
Dua
maf’ul, karena keduanya seperti asal jumlah ismiyah. Dan tidak benar keadaan
seperti itu. Maka tidak dikatakan : ( المتفوقُ جائزة )
, kemudian tidak harus isnad ( جائزة ) pada ( المتفوق ).
2). تخصيص (Alokasi/pengkhususan) : adalah hubungan
maknawi yang menggabungkan seluruh makna yang mengikat isnad/predikat dari sisi
tertentu. Contoh dari berbagai hubungan ini diantaranya yaitu ta’diyah
(melebihi/mengungguli), menentukan tujuan, dhorfiyah (kata
keterangan/tambahan), dan Ihkroj (penghapusan). Dalam ta’diyah harus
memperhatikan pada maf’ul bih dikaitkan dalam isnad hal tanpa pengertian isnad
pada pelepasannya. Seperti dalam ucapan : (telah memukul zaid pada amr). Maka
melepaskan pukulan pada Amr mengkhususkan untuk hubungan predikat.
Dan dalam menentukan tujuan
memperlihatkan maf’ul liajlih seperti pada pengkhususan. Kemudian mengaitkan
predikat pada sebab. Contoh ( أتيت رغبة في لقائك ).
Dan Isnad fiil tanpa sebab dari itu menjadi musabbab. Oleh karena itu dianggap
maf’ul liajlih satu dari rangkaian isnad. Dalam kata keterangan atau tambahan
mengkhususkan isnad dengan mengaitkan pada waktu atau tempat. Contoh
( عُوقِبَ الجاني أمام الناس ) / penjahat dihukum
didepan manusia. Dalam penghapusan menunjukan istisna/pengecualian pada
predikat tidak meliputi mustasna/yang dikecualikan karena keluar dari
penghapusan. Seperti dalam ucapan : ( نجحَ الطلاب إلى
عليّاً ) / para siswa berhasil kecuali ‘ilyan. Maka predikat berhasil
disini kepada semua siswa kecuali satu orang yaitu ‘ilyan, untuk membuktikan
penghapusan dari semua siswa. Maka dalam penghapusan mengikatkan pada predikat
dan mengkhususkannya.
2). النسبة (perimbangan/pertalian/hubungan) : adalah
hubungan maknawi yang menjadikan hubungan predikat pertalian. Pertalian disini tanpa mengkhususkan, karena
mengkhususkan pendapat kita seperti mengikat, sama ketika pada pertalian
penggabungan. Dan masuk dalam pertalian makna idhofi dan makna huruf jar yang
menggabungkan makna af’al pada nama-nama/macam-macam pertaliannya. Seperti yang
kita ketahui bahwa menyisihkan yang terdahulu ataupun huruf yang menunjukan
pada makna perhatian khusus ketika individu berbicara tentangnya topik-topik
yang luas dan terdiri dari berbagai macam. Dan menyisihkan yang berkeinginan
pada penjelasan apa-apa yang bermanfaat baginya makna jar dari ta’liq
(komentar/ulasan), bahwa ta’liq antara jar dan majrur antara yang berkaitan dengan makna keadaan
bukan makna zaman atau waktu. Hubungan melalui apa yang tidak difahami dengan
satu huruf pada nisbatnya, yaitu hakekatnya pembentukkan alaqoh nisbat
antara yang dibaca jar dan makna yang terjadi pada alaqoh isnadi
contoh جلس زيد على الكرسى Lafadz الكرسى itu merupakan alaqah lafadz الجلس yaitu kejadian bukanlah sesuatu
yang telah terjadi yang menunjukkan waktu, contoh اصحو فى وقت طلوع الشمس lafadz وقت
merupakan alaqah lafadz اصحو
yang merupakan nisbat suatu kejadian,
Nisbat ini merupakan ilhaaq (penggabungan)
kata taqyiid. Perbedaan yang tampak antara kedua makna
tersebut yaitu ilhaaq dan taqyid saat
keduanya digabungkan antara contoh yang telah disebutkan صحت إذا طلوع الشمس ini
merupakan contoh takhsish…..
Contoh ilhaaq اصحوا فى وقت طلوع
الشمس contoh ini merupakan
contoh nisbat dari segi yang lain. Pada contoh yang pertama merupakan taqyid
isnadii yang menunjukkan waktu. Lafadz اصحوا
secara harfiyah tidak berfaidah dengan lafadz وقت
طلوع الشمس . pada contoh yang kedua
bermakna nisbat….
Kesimpulannya yaitu lafadz اصحوا
pada contoh yang pertama berhubungan dengan waktu pada lafadz طلوع الشمس itulah muqoyyad bih nya. Sedangkan
pada contoh yang kedua lafadz اصحوا
dinisbatkan tanpa ada hubungannya dengan lafadz sebelumnya. Oleh karena itu
boleh diucapkan dalam contoh lain اصحوا فى وقت الظهر .
4. التبعية (sisipan)
Yaitu indikasi (petunjuk) yang bermakna umum dengan sisipan/
penggabungan yang bercabang diantaranya na’at, athaf, taukid, dan badal.
Kolaborasi dengan cabang ini menunjukkan tambahan/ sisipan petunjuk-petunjuk lafadz seperti
tingkatan. Fungsi tingkatan ini yaitu selalu mengakhirkan sisipan, tingakatan
antara tabii (yang mengikuti) dan mathbu (yang diikuti). Dalam
i’rabnya tidak sama. Alat atau sarananya qarenah (petunjuk) yang
mengkhususkan athaf dengan memakain huruf athaf yaitu ath af nasaq.
[1] Dalam tashrif
bahasa Perancis, kata kerja itu terdiri atas kata kerja pokok, kata kerja
penghubung saerta objek seperti bahasa eropa saat ini, karena bahasa eropa dan
perancis itu tergabung dalam bahasa Hindy Eropa.
[2] Lihat : Mahmud
Fahmi Hujaziy, Ilmu Lughah Baina at-Turats wa al-Manahij al-Haditsah, h.
74-76
[3] Ibid, h. 72-74.
0 Response to "Terjemah Mabadi Al-Lisaniyyat"
Posting Komentar