Uang Recehan
Kamis, 11 April 2019
Add Comment
Uang recehan
“Keris pusaka ini yang menolong kita dari malapetaka itu, untung
saja ada ratu Patih bersama kita, Do ”
Ucap seorang ibu muda kepada anaknya sambil mencium sang Ratu Patih
berkali-kali dan dimasukannya ke dalam tas.
Pemuda tanggung itu, Edo namanya, Hidung nya mancung, kulit sawo
matang menyatu dengan badannya yang tegak, tapi sorot matanya putih tajam, jaket
merah baru pemberian ayahnya yang selalu ia kenakan akhir dua pekan ini. Malam
itu pukul 03:30 dini hari, dengan menarik resleting jaket merahnya ia melintasi
tol dekat rumahnya, udara dingin mulai menembus pori-pori tubuhnya.
“Tugas
do?” tanya Mang Bajang, dengan jaket
hitam bertuliskan IOC (Ikatan Ojeg Cibaduyut) yang terpampang pada punggung
bajunya .
“Ya,
mang, gimana ramai mang di jalan?” ia
balik bertanya.
“ ya seramai-ramainya di jalan, do, alhmdulilaah lumayan”.
“ ya seramai-ramainya di jalan, do, alhmdulilaah lumayan”.
“Do, jalan dulu ya mang,”
“ya do, hahti-hati banyak anak Gang Motor lagi pada ngetrack”
“ siap mang”.
Bunderan cileunyi tempat ia mengais rezeki, kepingan logam recehan
di tangannya hampir memenuhi dua saku celananya. Dengan menggerakan telapak
tangan kanan mobil-mobil itu berbelok ke arah tubuhnya dimana ia berdiri. Tak
lama supir pun membuka jendelanya dan mengulurkan tangan dengan sekeping logam
putih bergambarkan merpati puith, 500 rupiah. Dua jam sudah ia lalui, tamparan
angin mendukung dinginya malam itu. Sesekali ia melihat ibu-ibu berdandan menor
dengan lipstik merah terang di bibirnya.
“30 ribu, lumayan.” Bisiknya dalam hati.
Buat makan ibu, Rere, Papa, Nana, ketiga adik kecilku, beli rokok, kopi, buat menghilangkan rasa jenuhku. Ia pun
bergegas menuju rumah yang tak jauh dari tempat ia kerja.
***
Jadi tukang parkiran di kampungku bertaruh nyawa, hampir setiap
kalangan menginginkannya, mereka saling berebut, berlomba. orang yang berumah
tangga pun banyak, remaja seusiaku pun banyak, sekarang usia ku hampir 18
tahun, ibuku tak mengizinkan ku melanjutkan kuliah. Bukannya aku tak mau. Tapi
beginilah adanya. Untung aku mendapat jadwal berdiri tegak di bunderan ini,
karena dengannya aku bisa menghasilkan kepingan uang recehan ini.
Ibuku cantik, hingga ia punya empat suami. Lelaki mana yang tak
suka dengannya, dimata ku, wajah ibu seperti telur ayam kampung yang pahat,
lonjong dan putih, hidungnya lancip Ashanti, tubuhnya tinggi semampai, rambutya
merah kecoklatan. Tapi sayang, ibu tidak berjilbab, pasti wajah telur ayam
kampungnya akan tampak lebih cantik kalau ia mengenakannya. Dan pastinya yang
menjadi suami ibu tidak akan meninggalkan ibu begitu saja.
Aku anak sulung dari dari empat bersaudara, masing-masing dari
suami ibu mewariskan satu anak, diantarnya aku, Edo dari ayahku, Roy. Kata ibu
ayah ku dari jakarta . tampan dan kaya raya, ibu cantik dan ayah tampan, kini
ketampanannya mewarisiku. suami ibu yang
pertama, 18 tahun aku tidak pernah bertemu ayah, hanya lewat ponsel saja aku
berbicara dengannya, itu juga aku disuruh ibu minta uang, tak pernah aku
melihat parasnya. Nana, adik laki-laki pertamaku berusia 9 tahun, dari suami
ibu yang kedua. Dia hitam dan berambut ikal, berbeda dengan rambutku yang
lurus, mungkin ia mewarisi gen bapaknya. Rere adik perempuan pertamaku dari suami
ibu yang ketiga, kini ia berusia 5 tahun, dan yang terakhir “papa” adik
perempuan ku yang paling cantik tentunya dari suami ibu yang ke empatyang baru
berusia dua tahun setengah. Lengkap sudah, lima kepala manusia di gubuk ini
tanpa hadirnya seorang kepala keluarga.
Kilauan Matahari itu pun memepermainkanku, entah mataku yang baru
saja terbangun, atau kilauan matarahari yang sedang menari. Ssedikit terang dan
sedikit gelap. Hari-hari kujalani tanpa
pernah kusadari aku beranjak 18 tahun, siang kujadikan malam, dan malam
kujadikan siang,aku tak pernah melihat lagi orang yang berseragam lewat depan
rumahku, mungkin aku sedang tertidur pulas, atau mungkin anak-anak sekarang
tida lagi mengayom bangku pendidikan, karena di kampungku itu sudah hal yang
wajar, deretan rumah yang berdiri sejajar rumahku semuanya menghadap ke utara,
aku lihat lelaki itu datang lagi menemui ibu.
Hari itu aku masih berusia 5 tahun, ya tepatnya seusia Papa
sekarang, lelaki itu keluar masuk rumah dan selalu mengepalkan uang pada tangan
ibu, selang beberapa bulan, aku lihat perut ibu nampak besar dan terlahirlah
“Nana” sebagai adik kecilku. Tak lama kemudian
anak-anak manis hadir d rumah gubuk ini.
Menurut bibiku dan Pamanku, semasa gadisnya ibu terkenal sebagai paranormal yang sangat
disegani di kampungku. Pemikiran yang sangat tradisional bagiku, walaupun
sekolah ku hanya tamat Sekolah Menengah Pertama “ Ibu mu itu bukan keturunan
sembarangan, Do. Masa nikah saja hampir setahun sekali, mana ada perempuan yang
rela dikawini tanpa dinikahi. Ya itulah ibumu, dia sedang berguru
katanya”celetuk teman mainku sekaligus
saudaraku itu, Eman.
Seorang tetangga di kanan rumah yang masih saudaraku datang ke
rumah, anak bungsunya kesurupan, ibu menyodorkan segelas air putih yang
sebelumnya dibacakan doa, dan menyuruhnya meminumkan air jampe-jampenya. selang beberapa jam jin nya telah pergi! Ibu
komat kamit sendiri, aku serasa tak mengenal sosok ibu pada waktu itu. Sorot
matanya tajam dia seperti dihadapkan pada dunia barunya. Anatara percaya dan
tidak namun memang benar adanya.
Nyaris setiap hari rumah ibu selalu kebanjiran tamu, rumah yang
selalu hening dari sunyi menjadi hingarbingar oleh suara pengaduan segala
penyakit. Apalagi ketika aku melihat sosok laki-laki kitam dengan kulit hitam
yang seminggu ini sering keluar masuk ke gubuk ini.
“ini keris pusaka bu Dewi yang aku dapatkan ketika bertapa di
Merapi, barangkali kau lebih butuh dari pada ku” ucap lelaki hitam itu dengan
mengepulkan asap rokok di ruang tamu.
“tak usah lah Mas, sayang kau bertapa lama-lama. Alhasil, Dikasih
sama orang tak dikenal seperti ku mas”
gaya bicara ibu berubah dengan logat jawa, bahasa ibunya.
“terima saja, barang kali kau lebih membutuhkannya daripada aku.
Keris pusaka Bu Dewi itu kiasan dunia yang akan menolong kita dan ilmu kita
akan semakin sempurna”.
Kaki papa yang mungil terus berayun menghampiri ibu, dengan
tangisannya yang khas bangun tidur, memotong obrolan mereka di ruang tamu.
Serangkaian obrolan yang intens antara ibu dan lelaki asing itu,
entah apa ujungnya, yang aku dapat simpulkan, ibu punya benda pusaka baru,yaitu
pusaka bu Dewi yang akan menggantikan ratu patih.
Semakin hingar bingar
keadaan rumah, dunia mistik yang menjadi tuhan. akhirnya aku jadikan jalanan
sebagai rumah keduaku, aku menelan waktu bersama tumpahan oli yang melebar
panjang. Dunia di kepalaku dunia yang
gelap, pendidikan dan kasih sayang tak ku dapat. Sesekali mataku berair bukan hanya karena
asap, atau debu jalanan. Tapi, setiap kali aku melihat tingkah ibu, aku selalu
ingin meneteskan air mata dan aku langsung menghapusnya dengan saputangan kotor
yang selalu kubawa dalam saku celanaku ketika terik panas itu mulai menggarang
badanku yang berada di tengah jalanan.
******
Nur, wanita berjilbab pujaanku. sahabat semasa Sekolah Menengah
Pertama (SMP) ku, kini ia dapat mengayom pendidikan hingga Sekolah Menengah
Atas, bapaknya kepala rumah Tangga di kampungku, ia sangat tak menyukai ibu,
pernah sesekali datang ke rumah untuk menagih bayar pajak rumah dengan suara
yang agak membentak. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Nur, ia sangat
menyayangiku. Padahal aku hanya anak jalang yang tak tahu dari lelaki mana yang
menjadi bapakku sendiri.
Suatu hari, datang ke rumahku,
“ sudah hampir setahun Rumah ini belum bayar pajak, Astri.mana kepala
keluarga saja belum jelas yang mana?
Orang yang berda di dalama rumah melongo, termasuk ibuku.
***
“ bapakmu tak sudi melihat kelurgaku, Nur” ucapku padanya saat senja mulai temaram.
“Mengapa?
tak ada yang salah dengan keluargamu?” jawab Nur dengan mata melongo. Memang
kamu sudah berubah Do, hanya karena hal kecil kamu berani mengambil keputusan
unutk mengakhiri hubungan ini.”
“kami
hanya diaanggap kecoak. Derajat mu denganku berbeda, bapakmu sudah muak melihat
kelakuan ibuku”.
Dua
hari suda aku tidak bertemu dengan Nur, setelah obrolan kami memastikan untuk
mengakhiri hubungan.
“Edo
kau harus lihat ini” ucap Nur menghampiriku, yang berada di rumah gubukku saat
itu.
“ini
benda kesayangan ibu mu, ia lebih sayang pusaka ini daripada kamu!” Nur semakin
melotot. Lihatlah, Aku memusnahkannya!!
Suaranya semakin meninggi. Ini kan yang kau ingin dari ibumu?
“kamu
takkan bisa lakuakn itu nur, kamu bisa kwalat,
Aku
telah membakarnya dan abunya aku buang ke sungai, ibumu terlalu sering
menduakan Tuhan”. Nur gemetar dan berkeringat dingin.
Napas
ibu tersengal-sengal, pikirannya menerawang. Tawanya kian melengking menembus
lubang ventilasi, sebentar menagis sebentar tertawa, dunia mistisnya berpisah
dengan jasadnya. Aku saksikan roh-roh bergentayangan mulai menjauh dari gubuk
rumah kami.
“Ibu
bisa gila Nur, bukan begini caranya.”
“karena
aku cinta kamu juga ibumu, Do”
Tapi bagaimana
dengan adik-adikku?
“Rere?”
“Papa?”
“Nana?”
Angin malam itu mengagetkan tirai jendelaku, kulitku semakin hitam pekat diwarnai debu jalanan, keris pusaka itu menertawakanku di balik pintu kamar ibu,kini, ia telah kembali.
“Nana?”
Angin malam itu mengagetkan tirai jendelaku, kulitku semakin hitam pekat diwarnai debu jalanan, keris pusaka itu menertawakanku di balik pintu kamar ibu,kini, ia telah kembali.
Belati masih dalam genggamanku kalau
kau perlu, Nur.
0 Response to "Uang Recehan"
Posting Komentar